Dalam sebuah tayangan talkshow di
televisi, disebutkan, Indonesia ”sebenarnya” tidak pernah menetapkan
KUHP sebagai produk hukum untuk diterapkan dalam kejahatan umum konvensional.
Padahal apabila kita lihat baik-baik, Sejak Indonesia merdeka, pemerintah RI
telah mengeluarkan berbagai macam peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan hukum. Peraturan perundang-undangan diantaranya Undang-undang Nomor 1
Tahun 1946. Dalam UU No. 1 Tahun 1946 pemerintah menetapkan bahwa untuk hukum
pidana diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku pada
tanggal 8 Maret 1942 yang juga berarti bahwa untuk hukum Pidana berlaku Wetboek
van Strafrecht voor Nederland Indie yang belum diubah oleh tentara Pendudukan
Jepang. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 merupakan perubahan dan tambahan dari
Wetboek Van strafrecht diterjemahkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 memberikan kekuatan untuk menyesuaikan
materi KUHP yaitu ketentuan yang termuat dalam pasal V yang menegaskan bahwa
“Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak
dijalankan atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara
merdeka atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian
sementara tidak berlaku.”
Berlakunya UU No. 1 Tahun 1946
didasarkan pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi “Segala
badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”. Lebih lanjut
dalam pasal 1 UU No. 1 Tahun 1946 menetapkan bahwa peraturan-peraturan Hukum
Pidana yang sekarang berlaku ialah peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal
8 Maret 1942. Selanjutnya hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942 dan
merupakan peninggalan pemerintah Hindia Belanda masih dinyatakan berlaku.
Dahulu KUHP disebut “wetboek
van strafrecht voor Nederlands-Indie yang kemudian setelah perang
dunia ke II diubah menjadi “wetboek van strafreht voo Indonesia”
(Satochid Kartanegara, Hukum Pidana I, Balai Lektur Mahasiswa, Hal 43)
Apabila kita melihat sejarah
Indonesia yang pernah dijajah Belanda hampir 350 tahun lamnya, Belanda masih meninggalkan
produk-produk hukum yang secara yuridis masih berlaku. Baik itu di lapangan
Hukum Pidana (wetboek van strafrecht voor Indonesia), Hukum Perdata
(burgelijk wetboek), Hukum Dagang (wetboek van kophandel),
Hukum Acara Perdata (reglement op de rechsvordering), Pidana maupun
berbagai peraturan yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan.
Hukum Belanda berakar dari
tradisi-tradisi hukum Indo-Jerman dan Romawi dan lewat berbagai Revolusi, mulai
dari “Papal Revolution” sampai Revolusi Kaum borjuis-liberal di Perancis pada
akhir abad ke 19-an. Dalam tata hukum Belanda, kodifikasi dan hukum kodifikasi
dikenal pada masa ekspansi kekuasaan Napoleon yang menyebabkan negeri Belanda
bagian dan Empinium Perancis. Pada tahun 1810 Kitab hukum yang terkenal dengan
nama Codes Napoleon dalam hukum perdata (Code Civil), hukum dagang (Code
Commerce), hukum pidana (Code Penal) diundangkan di negeri tersebut. Ketika
Napoleon jatuh, Kodifikasi tetap dinyatakan berlaku.
Sistem Hukum Belanda menganut system
kodifikasi sebagaimana kita mengenalnya dengan beberapa kitabnya. Sistematika
yang dipakai merupakan adopsi hukum Napoleon. Tidak banyak perbedaan perbedaan
antara system hukum Indonesia dengan Belanda (Ade Maman Suherman,
PENGANTAR PERBANDINGAN SISTEM HUKUM, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2004, Hal. 61)
Dengan melihat penjelasan yang telah
disampaikan, maka tidak tepat pernyataaan yang mengatakan, KUHP di Indonesia
tidak mempunyai dasar hukum untuk diterapkan di Indonesia.
Bertolak dari pendapat dan uraian
di atas, maka dewasa ini kedudukan KUH Perdata di Indonesia hanya merupakan
rechtboek (buku hukum), bukan sebagai wetboek (buku
Undang-undang). Oleh karenanya, berlakunya KUH Perdata hanya sebagai pedoman
saja. Sehingga biasa juga dikatakan KUH Perdata itu hanya suatu ketentuan
yang tidak tertulis tetapi tertulis. Walaupun kenyataannya guna mengatasi kevacuuman
(mengisi kekosongan dalam hukum) adanya ketentuan KUH Perdata itu secara a
priori harus diberlakukan secara memaksa (dwingenrecht). Namun apabila
ditinjau secara yuridis formil, KUH Perdata masih tetap sebagai hukum positip
karena sampai pada saat ini belum ada undang-undang dan peraturan resmi
mencabutnya.vManfaat
mempelajari sejarah KUH Perdata (BW) adalah
dengan mengetahui bila dan bagaimana cara diberlakukannya BW itu di Indonesia,
dan bagaimana pula kedudukannya dalam tatanan hukum kita, kita akan dapat
mengetahui latar belakang politik dan kepentingan Belanda menerapkan BW itu di
Indonesia. Dengan demikian kita dapat menjawab pertanyaan apakah BW itu masih
sesuai atau tidak dengan iklim negara kita yang merdeka.
0 komentar:
Posting Komentar