TUGAS RESUM BUKU FIKIH JINAYAH
(HUKUM PIDANA ISLAM)
(HUKUM PIDANA ISLAM)
Makalah ini Di Susun Untuk Memenuhi tugas Hukum Pidana Islam
Dosen Pengampu: Dr. Makhrus, M.Hum
Nip: (19680202 199303 1 003)
Di Susun Oleh: M. Ashari
Nim: 13360018
Jurusan: Perbandingam Mazhab
Nim: 13360018
Jurusan: Perbandingam Mazhab
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
BAB I
PENGERTIAN JINAYAH, UNSUR-UNSUR
DAN PEMBAGIANNYA
PENGERTIAN JINAYAH, UNSUR-UNSUR
DAN PEMBAGIANNYA
A.
Pengertian jinayah
Jinayah
merupakan bentuk verbal noun (masdar)
dari kata jana secara etimologi jana berarti berbuat dosa atau
salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatn dosa atau perbuatan salah.
Kata jinayah dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak
pidana. Secara terminologi kata jinayah mempunyai beberapan pengertian,
seperti yang diungkap oleh Abd al-Qadir Awdah: (perbuatan yang dilarang oleh
syara’ baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya).
Jadi
jinayah merupakan suatu tindakan yang dilarang oleh syara’ karena dapat
menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta, keturunan, dan akal (intelegensi).
Dalam
Undang-Undang Hukum Pidana Republik Persatuan Arab (KUHP RPA) terdapat tiga
tindak pidana yang didasarkan pada berat-ringannya hukuman, yaitu jinayah (jinayah
yang disebutkan dalam konstitusi dan merupakan tindakan yang paling berbahaya.
Konsekuensinya, pelaku tindak pidana diancam dengan hukuman berat, seperti
hukuman mati, kerja keras, atau penjara seumur hidup, dalam Pasal 10 KUHP RPA).
janbah,(perbuatan yang diancam
dengan hukuman lebih dari satu minggu tetapi tidak sampai kepada penjatuhan
hukuman mati atau hukuman seumur hidup, dalam pasal 11 KUHP RPA). Mukhalafah. (jenis pelanggaran ringan yang
yang ancaman hukumannya tidak lebih dari satu minggu, dalam Pasal 12 KUHP RPA).
B.
Unsur Jarimah
Secara
singkat dapat dijelaskan, bahwa suatu perbuatan dianggap delik (delik) bila
terpenuhi dua syarat dan rukun. Adapun rukun jarimah dapat di
kategorikan menjadi dua: pertama, rukun umum, artiya unsur-unsur yang harus
terpenuhi pada setiap jarimah. Kedua, unsur khusus yaitu unsur-unsur
yang harus terpenuhi pada jenis jarimah tertentu
Adapun
yang termasuk dalam unsur-unsur umum jarimah adalah:
a)
Unsur formil (adanya
undang-undang atau nas). Artinya setiap perbuatan tidak dianggap melawan hukum
dan pelakunya tidak dapat di pidana kecuali adanya nas atau undang-undang yang
mengaturnya. Dalam hukum positif masalah ini dikenal dengan istilah asas
legalitas.
b)
Unsur Materiil (sifat
melawan hukum). Artinya adanya tingkuh laku seseorang yang membentuk jarimah,
baik dengan sikap berbuat maupun sikap tidak berbuat. Unsur ini dalam hukum
pidana islam disebut dengan ar-rukn al-madi.
c)
Unsur moril (pelakunya
mukalaf). Artinya, pelaku jarimah adalah orang yang dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana terhadap jariamah yang dilakukannya. Dalam
syariat islam moril dikenal dengan ar-rukn al-adabi.
C.
Macam-macam Jariamah
Ulama
figh membagi jarimah dilihat dari berbagai segi:
1.
Jarimah bila
dilihat dari berat ringannya hukuman ada tiga jenis, yang pertama adalah hudud
(perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancaman hukumannya ditentukan
oleh nas, yaitu hukuman had atau hak Allah. Hukuman yang dimaksud tidak
mempunyai batas terendah dan tertinggi dan tidak bisa dihapuskan oleh
perorangan (sikorban atau walinya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri)).
Para ulama sepakat bahwa yang termasuk dalam kategori ini ada tujuh macam
yaitu: zina, qazf (menuduh zina), pencurian, perampokan, pemberotakan
(al-baqhy), minum-minuman keras, dan riddah (murtad). Yang kedua Qisas
diyat (perbuatan yang diancam denga hukuman qisas dan diyat).
Yang ketiga ta’zir (memberi pelajaran).
Pembagian tindak pidana dalam hudud, qisas diyat, dan ta’zir,
sebagai berikut:
a.
Urgensi ditinjau dari segi kekuasaan hakim
b.
Urgensi ditinjau dari segi ampunan
c.
Urgensi ditinjau dari segi pengaruh lingkungan
d.
Urgensi ditinjau dari segi alat bukti.
2.
Jarimah Menurut Niat si Pelaku
Jarimah menurut niat si pelaku dibagi menjadi dua macam yaitu: jarimah
maqsudah (tindak pidana yang ada ungsur sengaja), jarimah maqsudah (tindak
pidana yang tidak disengaja).
3.
Jarimah Berdasarkan Sikap Berbuat atau Tidak Berbuat
Jarimah ini dibagi menjadi dua macam yaitu: jarimah ijabiyyah (jarimah
positif) jarimah salabiyyah (jarimah negatif)
4.
Jarimah dilahat dari siapa yang menjadi korban
Jarimah ini di bagi menjadi dua macam, yaitu: jarimah masyarakat
(jarimah yang memberlakukan sanksinya untuk menjaga atau melindungi kepentingan
umum), jarimah perorangan (jarimah yang hukuman diterapkan kepada sipelaku
untuk melindungi kepentingan perorangan).
5.
Jarimah didasarkan pada ketertiban umum
Jarimah ini juga dibagi menjadi dua macam, yaitu: jarimah adiyyah
(biasa), jarimah siyasah (politik).
BAB II
ASAS-ASAS UMUM DALAM FIKIH JINAYAH
A.
Asas legalitas
Kata asas berasal dari bahasa arab yaitu asasun berarti
dasar atau prinsip, sedangkan kata legalitas berasal dari bahasa latin lex
(kata benda) yang berarti undang-undang, atau dari kata jadian legalis
yang berati sah atau sesuai dengan undang-undang. Secara historis asas
legalisis pertama kali digagas oleh Anselm van voirbacht dan
penerapannyandi indonesia dapat dilihat pada pasal 1 ayat (1) KUHP. Yang
berbunyi “suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan
peraturan perundang-undangan pidana”.
Adapun istilah asas legalitas dalam syariat islam tidak ditentukan
secara jelas sebagaimana yang terdapat dalam KUHP pidana.
B.
Sumber Hukum Asas legalitas
Asas
legalitas secara jelas di anut dalam hukum islam. Terbukti adanya beberapa ayat
yang menunjukan beberapa asas legalitas tersebut. Allah tidak akan menjatuhkan
hukuman bagi umat manusia dan tidak akan meminta pertanggung jawaban manusia
sebelum adanya penjelasan dan pemberitahuan melalui Rasul-rasulnya-Nya, dalam
Al-Qur’an banyak ayat yang menjelaskan tentang legalitas salah satunya
Al-Qur’an Surat al-Isra ayat 15
.....َومَا كُنَّا مُعَذّ بِيْنَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُوْلأً
.....dan kami tidak akan
menyiksa sebelum kami mengutus seorang rasul.
Berdasarkan
ayat Al-Qur’an ada dua dua syarat yang harus terpenuhi bagi seseorang maupun
pelaku sehingga dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana.
1.
Syarat yang berkaitan dengan sifat mukallaf, yaitu sanggup memahami
nas syara’ yang berisi taklif baik yang berbentuk tuntutan maupun
larangan dan pantas dimintai pertanggungjawaban pidana dan dapat dijatuhi
hukuman.
2.
Syarat yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Dalam hal ini ada
unsur yang harus terpenuhi yaitu: (a). Perbuatan ini mungkin sanggup untuk
dikerjakan atau ditinggalkan. (b). Perbuatan ini tidak dapat diketahui dengan
sempurna oleh orang yang berakal atau mukallaf.
C.
Penerapan asas legalitas
Penerapan
hukum pidana islam yang menunjukan tidak berlaku misalnya
1.
Beristrikan bekas ibu tiri
2.
Hukum Riba
3.
Masalah Pencurian
D.
Asas Tidak Berlaku Surut
Hukum
pidana islam (jinayah) pada prinsip tidak berlaku surut, hal ini sesuai
dengan kaidah la raj’iyyah fi at tasyri’al-jina’i tidak berlaku surut
pada hukum pidana islam, artinya sebelum adanya nas yang melarang perbuatan,
maka tindakan mukalaf tidak bisa dianggap sebagai suatu jarimah. Namun
dalam praktiknya ada beberapa jarimah yang diterepkan berlaku surut,
artinya perbuatan itu dianggap jarimah walaupun belum ada nas yang melarangnya.
Alasa
diterapkan pengecualian berlaku surut karena pada jarimah yang berat sangat
berbahaya apabila tidak diterapkan maka akan menimbulkan kekacauan dan
kehebohan dikalangan kaum muslimin.
Jarimah-jarimah
yang diberlakukan surut antara lain:
1.
Jarimah Qazf (menuduh zina)
2.
Jarimah Hirabah.
BAB
III
PERCOBAAN
MELAKUKAN JARIMAH
A.
Pengertian Percobaan Tindak Pidana Dan Pendapat Fuqaha
Percobaan
tindak pidana adalah tidak selesainya perbuatan pidana karena adanya faktor
eksternal, namun sipelaku ada niat da adanya permulaan perbuatan pidana. Hukum
pidana islam tidak berkonsentrasi membahas delik percobaan, tetapi lebih
menekankan pada jarimah yang telah selesai dan belum selesai. Hal ini tidak
berarti bahwa mereka tidak membicarakan isi teori tentang “percobaan” sebagai
mana yang terlihat nanti.
B.
Fase-fase dalam Tindak Pidana
Tiap-tiap
jarimah mengalami fase-fase tertentu terwujud hasilnya. Pembagian
fase-fase ini ini sangat diperlukan sebab hanya pada salah satu fase saja,
pembuat dapat dituntut dari segi kepidanaan, sedang pada fase-fase lainya tidak
dituntut.
1.
Fase pemikiran dan perancanaan (marhalah at-tafkir wa at-tashim)
2.
Fase persiapan (marhalah at-tahdzir)
3.
Fase pelaksanaan (marhalah tanfidiyah)
C.
Pendirian Hukum Positif
Pendirian
hukum positif sama dengan syara; bahwa permulaan tindsk pidana tidak dapat dihukum,
baik pada fase-fase pemikiran perencanaan dan persiapan. Akan tetapi dikalangan
sarjana-sarjana hukum positif terdapat perbedaan pendapat tentang saat di mana
pembuat dianggap telah mulai melaksanakan jarimahnya itu.
BAB
IV
TURUT
SERTA BEBRBUAT JARIMAH
(al-istirak
fi al-jarimah)
A.
Pengertian dan Bentuk Penyertaan
Suatu
jarimah ada kalanya diperbuat oleh seorang diri dan dapat diperbuat oleh
beberapa orang pula maka bentuk kerja sama diantara mereka dapat dirumuskan
sebagai berikut
1.
Pembuat melakukan jarimah bersama-sama orang lain
2.
Pembuat mengadakan kesepakatan
3.
Menghasut orang lain untuk berbuat jarimah
4.
Memberi bantuan
Dalam KUHP di indonesia pasal 55, kita dapati bentuk-bentuk
kerjasasama dalam melaksanakan jarimah ini
B.
Pandangan Fuqaha Tentang Turut Serta Berbuat Jarimah
Para
fuqaha hanya membicarakan hukum “turut berbuat langsung” (isytirak
mubasyir), sedang hukum “turut berbuat tidak langsung” (isytirak ghairu
mubasyir) boleh dikata tidak disinggung-singgung. Boleh jadi hal ini
disebabkan karena menurut aturan syariat islam, hukuman yang telah ditentukan
hanya dijatuhkan atas orang yang turut berbuat dengan langsung, bukan atas
orang yang turut berbuat tidak langsung dan aturan tersebut diterapkan dengan
teliti sekali oleh imam Abu Hanifah.
C.
Turut Berbuat Secara Langsung
Pada
dasarnya turut berbuat langsung baru terdapat apabila orang-orang yang berbuat
jarimah dengan nyata lebih dari seorang atau biasa disebut dikalangan sarjana-sarjana
hukum positif dengan nama “berbilangnya pembuat asli” (mededaders).
D.
Turut Berbuat Tidak Langsung
Turut berbuat tidak langsung bisa terjadi dengan berbagai cara
seperti
1.
Persepakatan
2.
Menyuruh (menghasut: tahridl)
3.
Memberi bantuan (i’anah)
Syari’at islam telah menentukan hukuman had dan qisas dijatuhkan
atas perbuatan langsung, bukan atas kawan berbuatnya (pembuat tidak langsung).
BAB V
PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA
A.
Pengertian dan dasar hukum
Pertanggung
jawaban pidana diartikan sebagai bentuk pembebanan pada seseorang akibat
perbuatan sesuatu yang dilarang. Kemudian dasar hukum perbuatan ini sudah
sangat jelas dalam Al-Qur’an namun bersifat pengecualian (terkecuali dengan
hak) seperti dalam firman allah
ولأ تقلوا النقس التى حرم الله الأ با لحق.............
artinya:
jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan allah kecuali ada alasan yang hak
B.
Macam-macam Maksud Melawan Hukum
Perbuatan
melawan hukum adakalanya disengaja (direncanakan), ada kalanya keliru. Dengan
demikian maksud melawan hukum juga bertigkat-tingkat seperti:
1.
Maksud melawan hukum umum dan khusus
2.
Maksud melawan hukum tertentu dan tidak tertentu
3.
Maksud langsung dan tidak langsung
C.
Hal-hal yang Dapat Mempengaruhi Hukum
1.
Menjalankan ketentuan Syariat
2.
Karena Perintah Jabatan
3.
Kedaan Terpaksa
Menurut ulama Hanafiyah syarat untuk dapat dikatakan keadaan
terpaksa apabila:
a.
Adanya kemampuan yang lebih dari orang yang memaksanya atas apa
yang diancamkan baik bersifat kekuasaan atau kejahatannya
b.
Adanya ketakutan yang luar biasa dari orang yang dipaksa baik orang
yang yang dipaksa hadir secara langsung atau lewat suruhanya
c.
Bagi orang yang terpaksa hatus menentang perbuatan sebelumnya
d.
Orang yang dipaksa mempertahankan jiwa anggota badannya, sehingga
harus melakukan perbuatan yang tidak ada kerelaan darinya.
4.
Pembelaan Diri
Adapun syarat-syarat pembelaan diri adalah sebagai berikut:
a.
Adanya serangan atau tindakan melawan hukum
b.
Penyerangan harus terjadi seketika
c.
Tidak ada jalan lain dalam pembelaan diri kecuali harus menyerang
d.
Dalam pembelaan digunakan alat seperlunya tidak berlebih-lebihan
5.
Subhat
6.
Unsur Pemaaf
BAB VI
‘UQUBAH (HUKUMAN)
Hukuman
dalam istilah Arab sering disebut ‘uqubah, yaitu bentuk balasan bagi
seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara’ yang ditetapkan
Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia. Tujuan dari hukuman dalam
syariat islam merupakan realisasi dari tujuan hukum islam itu sendiri yakni
hukuman yang bersifat umum maupun khusus, ketentuan ini diberlakukan karena
hukuman dalam islam dianggap sebagai ihktiyat bahkan hakim dalam islam
harus menegakkan dua prinsip:
1.
Hindari hukuman hadd dalam
perkara yang mengandung hukum subhad
2.
Seorang imam atau hakim lebih baik slah memaafkan dari pada salah
menjatuhkan hukuman.
Adapun prinsip dasar untuk mencapai tujuan oleh ulama fiqh diberi
bebarapa kriteria:
1.
Hukuman itu bersifat universal
2.
Penerapan materi hukuman itu sejalan dengan kebutuhan dan
kemaslahatan masyarakat
3.
Seluruh bentuk hukuman yang dapat menjamin dan mencapai kemslahatan
pribadi dan masyarakat
4.
Hukuman dalam islam bukan hal balas dendam
Hukuman dalam islam dapat dikelompokan dalam beberapa jenis, hal
ini dapat diperinci sebagai berikut:
1.
Hukuman dilihat dari pertalian hukuman yang satu dengan hukuman
yang lain, ada 4 jenis yaitu; hukuman pokok, hukuman penganti, hukuman
tambahan, dan hukuman pelengkap.
2.
Hukuman dilihat dari kewenangan hakim dalam memutuskan perkara
3.
Hukuman dari segi obyeknya.
Dalam hukum pidana islam tujuan dibentuknya hukuman tak lain adalah
untuk menciptakan ketentraman individu dan masyarakat serta mencegah
perbuatan-perbuatan yang bisa menimbulkan kerugian terhadap anggota masyarakat.
Menurut Andi Hamzah dan A. Simanglipu, sepanjang perjalanan
sejarah, tujuan penjatuhan pidana dapat dihimpun dalam empat bagian, yakni:
1.
Pembalasan (revenge), seseorang yang telah menyebabkan
kerasukan dan malapetaka pada orang lain
2.
Penghapusan dosa (ekspiation)
3.
Menjarakan (detern)
4.
Memperbaiki sipelaku tindak kejahatan (rehabilitation of the
criminal)
BAB VII
JARIMAH HUDUD
Jarimah
hudud sering
diartikan sebagai tindak pidana yang macam dan sanksinya ditetapkan secara
mutlak oleh Allah, sehingga manusia tidak berhak untuk menetapkan hukuman lain
selain hukuman hukuman yang ditetapkan berdasarkan kitap Allah.
Kejahatan
huhud adalah kejahatan yang paling serius dan berat dalam hukum pidana islam.
Ia adalah kejahatan terhadap kepentingan publik, jumhur ulama merumuskan
jarimah hudud menjadi tujuh macam yaitu zina, qadzaf (tuduhan palsu
zina), sariqah (pencurian), hirabah (perampokan), riddah
(murtad), al-baqhy (pemberontakan), dan syurb al-khamr (meminum
khamr). Sementara mazhab malikiyah hanya memasukkan jarimah hudud dalam lima
kategori yaitu zina, qadzaf (tuduhan palsu zina), sariqah
(pencurian), hirabah (perampokan) dan baghy (pemberontakan).
BAB VIII
JARIMAH QISHASH DIYAT
Qishash diyat adalah suatu kejahatan terhadap jiwa (menghilangkan
nyawa) dan anggota badan (pelukan) yang diancam dengan hukuman qishash (serupa/
semisal) atau hukuman diyat (ganti rugi dari sipelaku atau ahlinya kepada
sikorban atau walinya). Dalam hukum pidana islam yang termasuk dalam jarimah
qishash diyat ini adalah (1) pembunuhan dengan sengaja; (2) pembunuhan semi
sengaja; (3) menyebabkan matinya orang karena kealpaan atau kesalahan; (4)
penganiayaan dengan sengaja; dan (5) menyebabkan orang luka karena kealpaan
atau kesalahan. Ayat Al-qur’an yang berkaitan dengan tindak pidana pembunuhan
antara lain disebutkan dalam surah Al- Baqarah ayat 178-179, dalam surah ini
merupakan dasar pemberian sanksi dalam hukum pidana islam terkandung
nilai-nilai humanisme sebagai berikut:
1.
Hukuman qisas diyat merupakan bentuk koreksi terhadap hukuman pada
masa jahiliyah yang diskrimatif.
2.
Menegagkan nilai-nilai keadilan demi tegaknya supremasi hukum.
3.
Perlindungan bagi sikorban atau walinya secara langsung.
Hikmah adanya hukuman qisas diyat, sebagaimana dijelaskan oleh
al-Jurjawi adalah keberlangsungan hidup manusia didunia, karena itu islam
menghukum orang yang membunuh orang lain.
Pembunuhan diartikan oleh para ulama sebagai perbuatan manusia yang
menyebabkan hilangnya nyawa. Mazhab maliki membagi pembunuhan menjadi dua
macam, yakni pembunuhan sengaja danpembunuhan tidak sengaja. Sedangkan ulama
Hanifiah, Syafi’iyah dan Hambali membagi pembunuhan menjadi tiga macam, yaitu (1)
pembunuhan sengaja (qatl al-‘amd) yaitu suatu perbuatan menganiaya
seseorang dengan maksud menghilangkan nyawa, (2) pembunuhan semi sengaja (qatl
syibb al-‘amd) yaitu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang tidak dengan
maksud untuk membunuhnya, tetapi mengakibatkan kematian, dan (3) pembunuhan
karena kesalahan (qatl al-khata’) yaitu pembunuhan yang disebabkan salah
dalam perbuatan, salah dalam maksud, dan kelalaian.
BAB IX
JARIMAH TA’ZIR
JARIMAH TA’ZIR
Menurut bahasa, lafaz ta’zir berasal dari kata: azzara yang
berarti man’u wa radda (mencegah dan menolak). Ta’zir dapat berarti addaba
(mendidik) atau azhamu wa waqra yang artinya mengagungkan dan
menghormati. Dari berbagai pengertian makna ta’zir yang paling relavan
adalah al-man’u wa radda (mencegah atau menolak), dan pengertian ta’dib
(mendidik). Pengertian ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Abdul Qadir
Audah dan Wahbah Zuhaili.
Menurut istilah, sebagaimana yang diungkapkan oleh Al-Mawardi bahwa
yang dimaksud dengan ta’zir adalah: ta’zir adalah hukuman yang bersifat
pendidikan atas perbuatan dosa (maksiat) yang hukumannya belum ditetapkan oleh
syara;
Sementara Wahbah Zuhaili memberikan definisi yang mirip dengan
definisi Al-Mawardi:
وَهُوَ
شَرْعًا : العُقُوْ بَةُ الْمَشْرُوْعَةُ عَلَى مَعْصِيَةٍ أَوْ جِنَايَةٍ لَاحَدّ
فِيْهَا وَ لَا كَفَّا رَةَ
Ta’zir menurut syara’ adalah hukuman yang ditetapkan atas perbuatan
maksiat atau jinayah yang tidak dikarenakan had dan tidak pula kafarat
Ta’zir dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1.
Ta’zir karena melakukan maksiat;
2.
Ta’zir karena melakukan perbuatan yang membahayakan kepentingan
umum;
3.
Ta’zir karena melakukan pelanggaran (mukhalafah).
Di samping itu, dilihat dari segi hak yang dilanggarnya, jarimah
ta’zir dibagi menjadi dua bagian, yaitu
1.
Jarimah ta’zir yang menyinggung hak Allah.
2.
Jarimah ta’zir yang menyinggung hak perorangan (individu).
Pada jarimah ta’zir sumber hukumnya tidak dijelaskan secara
terperinci dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis baik dari segi bentuk jarimah maupun hukumannya,
Menurut syarbini al-khatib ayat al-Qur’an yang menjadi landasan adanya jarimah
ta’zir al-qur’an dalam surat al-Fath ayat 8-9, seddangkan dalam hadis ada
bebearapa hadis yang menjadi landasan salah satunya hadis nabi yang
diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim, hadis yang diriwatkan oleh Abi Burdah, dan
hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah.
Antara jarimah ta’zir dan jarimah Hudud mempunyai perbadaan yakni;
jarimah hudud merupakan jarimah yang hukumanya telah ditentukan secara
definitif oleh syara’ baik jenis jarimah maupun sanksinya sedangkan jarimah
ta’zir adalah jarimah yang hukumannya belum ditentukan oleh syara’ dan
diserahkan kepada pemerintah (ulil amri) untuk menetapkannya.
Adapun pembagian jarimah ta’zir menurut Abdul Qadir Awdah
membaginya kedalam tiga macam:
1.
Jarimah ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau
qishash, tetapi syarat-syaratnya tidak terpenuhi atau ada syubhat seperti
pencurian yang tidak mencapai nisab, atau oleh keluarga sendiri
2.
Jarimah ta’zir yang jenisnya disebutkan dalam nas syara’ tetapi
hukumannya belum ditetapkan; seperti riba, suap, dan mengurangi takaran dalam
timbangan.
3.
Jarimah ta’zir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan
oleh syara’.
Sedangkan Aziz Amir membagi jarimah Ta’zir secara rinci kedalam beberapa
bagian, yaitu:
1.
Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pembunuhan;
2.
Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pelukan;
3.
Jarimah ta;zir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan
atau kerusakan akhlak;
4.
Jarimah ta;zir yang berkaitan dengan harta;
5.
Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu;
6.
Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan keamanan individu.
Kemudian dalam menentukan hukuman dalam jarimah ta’zir ini jenisnya
sangat beragam, namun secara garis besar dapat diperinci sebagai berikut:
1.
Hukuman mati atau qishash untuk pembunuhan sengaja dan sebagai
hukuman had untuk jariyah hirabah, zina muhshan, riddah, dan jarimah
pemberontakan.
2.
Hukuman cambuk (dera) adalah memukul dengan cambuk atau semacamnya.
Kalau di Indonesia dipilih dengan mengunakan rotan. Sedangkan dasar hukum
cambuk adalah al-Qur’an surat an-Nisa ayat 34.
3.
Hukuman penjara, dalam bahasa arab ada dua istilah untuk hukuman
penjara, pertama al-habsu (mencegah atau menahan pelaku ditempat yang sempit),
dan yang kedua as-sijn. Dasar hukum untuk dibolehkannya hukuman penjara ini
terdapat dalam surat An-Nisa’ ayat 15. Disamping itu alasan lain untuk
dibolehkannya hukuman penjara sebagai ta’zir adalah tindakan Nabi saw, yang
pernah memenjarakan beberapa orang dimadinah dalam tuntutan pembunuhan. Juga
tindakan Khalifah Utsman yang pernah memenjarakan Dhabi’ Ibn al-Harits, salah
satu pencuri dari bani Tamim sampai ia mati dipenjara. Hukuman penjara dalam
syariat islam dibagi kedalam dua bagian, yaitu: hukuman penjara yang
terbatas waktunya dan tidak terbatas.
4.
Hukuman pengasingan, hukuman ini dijatuhkan kepada pelaku jarimah
yang dikhawatirkan berpengaruh kepada orang lain sehingga pelakunya harus
dibuang (diasingkan) untuk menghindarkan pengaruh-pengaruh tersebut.
5.
Merampas Harta, para ulama berbeda pendapat tentang dibolehkannya
hukuman ta’zir dengan cara mengambil harta, hukuman ta’zir dengan cara
mengambil harta tidak dibolehkan. Pendapat ini diikuti oleh muridnya, yaitu
Muhammad Ibn Hasan, tetapi muridnya yang lain, yaitu Imam Abu Yusuf membolehkannya
apabila dipandang membawa maslahat.
6.
Mengubah bentuk barang, adapun hukuman ta’zir yang berupa mengubah
harta pelaku antara lain seperti mengubah patung yang disembah oleh orang
muslim dengan cara memotong bagian kepalanya, sehingga mirip dengan pohon.
7.
Hukuman Denda, hukuman yang bisa merupakan hukuman pokok yang
berdiri sendiri dan dapat pula dapat pula digabungkan dengan hukuman pokok
lainnya.
8.
Peringakatan Keras
9.
Hukuman Berupa Nasihat, hukuman nasihat ini didasarkan kepada
Firman Allah dalam surah An-Nisa’ ayat 34:
والَّتِى تَخَافُونَ نُشُوْزَ هُنَّ فَعِظُوْ هُنَّ........(النساء : 34)
..... wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya maka
nasihatilah mereka...... (QS, An-Nisaa’ :34)
10. Celaan
(Taubikh), dasar hukuman untuk celaan sebagai hukuman ta’zir adalah hadis Nabi
saw. Diriwayatkan bahwa Abu Dzar pernah menghina seseorang dengan menghina
ibunya.
11. Pengucilan,
yang dimaksud dengan pengucilan adalah melarang pelaku untuk berhubungan dengan
orang lain dan sebaliknya melarang masyarakat untuk berhubungan dengan pelaku.
Dasar hukum untuk hukuman pengucilan ini adalah
al-Qur’an dalam surah An-Nisa ayat 34. Selain dalam Al-Qur’an hukuman
pengucilan juga terdapat dalam sunnah Rasullah dan para sahabat pernah
melakukan pengucilan terhadap tiga orang yang ikut perang tabuk, yaitu Kaab ibn
Malik, Mirarah ibn Rabi’ah Al-Amiri, dan hilal ibn Umayyah Al-Waqify.
12. Pemecatan
(Al-‘Azl), adalah melarang seseorang dari pekerjaannya dan diberhentikan dari
pekerjaan itu. Hukuman ta’zir berupa pemberhentian dari pekerjaan atau jabatan
ini diterapkan terhadap seorang pegawai yang melakukan jarimah, baik yang
berhubungan dengan pekerjaannya atau jabatannyab maupun dengan hal-hal lainnya.
13. Publikasi
(At-Tasyhir), dasar hukum untuk hukuman berupa pengumuman kesalahan atau
kejahatan pelaku secara terbuka adalah tindakan Khalifah Umar terhadap seorang
saksi palsu yang sesudah dijatuhi hukuman jilid lalu ia diarak keliling kota,
sambil diumumkan kepada masyarakat bahwa ia adalah seorang saksi palsu.
thanks atas infonya sangat membantu, jangan lupa kunjungi Mencari Solusi Atas Krisis Penegakan Hukum Indonesia dg Penyehatan Penegakan Hukum Berkeadilan
BalasHapusmana foot note nya coy
BalasHapusmana foot note nya coy
BalasHapusapa nama buku dan penulisnya juga penerbitnya
BalasHapusplease respon