Kamis, 01 Januari 2015

Posted by Unknown |


TUGAS RESUM BUKU FIKIH JINAYAH
(HUKUM PIDANA ISLAM)

Makalah ini Di Susun Untuk Memenuhi tugas Hukum Pidana Islam
Dosen Pengampu: Dr. Makhrus, M.Hum
Nip: (19680202 199303 1 003)


 
Di Susun Oleh: M. Ashari
Nim: 13360018
Jurusan: Perbandingam Mazhab

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
BAB I
PENGERTIAN JINAYAH, UNSUR-UNSUR
DAN PEMBAGIANNYA


A.    Pengertian jinayah
Jinayah merupakan bentuk verbal noun (masdar) dari kata jana secara etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatn dosa atau perbuatan salah. Kata jinayah dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Secara terminologi kata jinayah mempunyai beberapan pengertian, seperti yang diungkap oleh Abd al-Qadir Awdah: (perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya).
Jadi jinayah merupakan suatu tindakan yang dilarang oleh syara’ karena dapat menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta, keturunan, dan akal (intelegensi).
Dalam Undang-Undang Hukum Pidana Republik Persatuan Arab (KUHP RPA) terdapat tiga tindak pidana yang didasarkan pada berat-ringannya hukuman, yaitu jinayah (jinayah yang disebutkan dalam konstitusi dan merupakan tindakan yang paling berbahaya. Konsekuensinya, pelaku tindak pidana diancam dengan hukuman berat, seperti hukuman mati, kerja keras, atau penjara seumur hidup, dalam Pasal 10 KUHP RPA).  janbah,(perbuatan yang diancam dengan hukuman lebih dari satu minggu tetapi tidak sampai kepada penjatuhan hukuman mati atau hukuman seumur hidup, dalam pasal 11 KUHP RPA).  Mukhalafah. (jenis pelanggaran ringan yang yang ancaman hukumannya tidak lebih dari satu minggu, dalam Pasal 12 KUHP RPA).

B.     Unsur Jarimah
Secara singkat dapat dijelaskan, bahwa suatu perbuatan dianggap delik (delik) bila terpenuhi dua syarat dan rukun. Adapun rukun jarimah dapat di kategorikan menjadi dua: pertama, rukun umum, artiya unsur-unsur yang harus terpenuhi pada setiap jarimah. Kedua, unsur khusus yaitu unsur-unsur yang harus terpenuhi pada jenis jarimah tertentu
Adapun yang termasuk dalam unsur-unsur umum jarimah adalah:
a)      Unsur formil (adanya undang-undang atau nas). Artinya setiap perbuatan tidak dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak dapat di pidana kecuali adanya nas atau undang-undang yang mengaturnya. Dalam hukum positif masalah ini dikenal dengan istilah asas legalitas.
b)     Unsur Materiil (sifat melawan hukum). Artinya adanya tingkuh laku seseorang yang membentuk jarimah, baik dengan sikap berbuat maupun sikap tidak berbuat. Unsur ini dalam hukum pidana islam disebut dengan ar-rukn al-madi.
c)      Unsur moril (pelakunya mukalaf). Artinya, pelaku jarimah adalah orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap jariamah yang dilakukannya. Dalam syariat islam moril dikenal dengan ar-rukn al-adabi.




C.  Macam-macam Jariamah
Ulama figh membagi jarimah dilihat dari berbagai segi:
1.      Jarimah bila dilihat dari berat ringannya hukuman ada tiga jenis, yang pertama adalah hudud (perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancaman hukumannya ditentukan oleh nas, yaitu hukuman had atau hak Allah. Hukuman yang dimaksud tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi dan tidak bisa dihapuskan oleh perorangan (sikorban atau walinya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri)). Para ulama sepakat bahwa yang termasuk dalam kategori ini ada tujuh macam yaitu: zina, qazf (menuduh zina), pencurian, perampokan, pemberotakan (al-baqhy), minum-minuman keras, dan riddah (murtad). Yang kedua Qisas diyat (perbuatan yang diancam denga hukuman qisas dan diyat). Yang ketiga ta’zir (memberi pelajaran).
Pembagian tindak pidana dalam hudud, qisas diyat, dan ta’zir, sebagai berikut:
a.       Urgensi ditinjau dari segi kekuasaan hakim
b.      Urgensi ditinjau dari segi ampunan
c.       Urgensi ditinjau dari segi pengaruh lingkungan
d.      Urgensi ditinjau dari segi alat bukti.
2.      Jarimah Menurut Niat si Pelaku
Jarimah menurut niat si pelaku dibagi menjadi dua macam yaitu: jarimah maqsudah (tindak pidana yang ada ungsur sengaja), jarimah maqsudah (tindak pidana yang tidak disengaja).
3.      Jarimah Berdasarkan Sikap Berbuat atau Tidak Berbuat
Jarimah ini dibagi menjadi dua macam yaitu: jarimah ijabiyyah (jarimah positif) jarimah salabiyyah (jarimah negatif)
4.      Jarimah dilahat dari siapa yang menjadi korban
Jarimah ini di bagi menjadi dua macam, yaitu: jarimah masyarakat (jarimah yang memberlakukan sanksinya untuk menjaga atau melindungi kepentingan umum), jarimah perorangan (jarimah yang hukuman diterapkan kepada sipelaku untuk melindungi kepentingan perorangan).
5.      Jarimah didasarkan pada ketertiban umum
Jarimah ini juga dibagi menjadi dua macam, yaitu: jarimah adiyyah (biasa), jarimah siyasah (politik).


BAB II
ASAS-ASAS UMUM DALAM FIKIH JINAYAH

A.    Asas legalitas
Kata asas berasal dari bahasa arab yaitu asasun berarti dasar atau prinsip, sedangkan kata legalitas berasal dari bahasa latin lex (kata benda) yang berarti undang-undang, atau dari kata jadian legalis yang berati sah atau sesuai dengan undang-undang. Secara historis asas legalisis pertama kali digagas oleh Anselm van voirbacht dan penerapannyandi indonesia dapat dilihat pada pasal 1 ayat (1) KUHP. Yang berbunyi “suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan peraturan perundang-undangan pidana”.
Adapun istilah asas legalitas dalam syariat islam tidak ditentukan secara jelas sebagaimana yang terdapat dalam KUHP pidana.
B.     Sumber Hukum Asas legalitas
Asas legalitas secara jelas di anut dalam hukum islam. Terbukti adanya beberapa ayat yang menunjukan beberapa asas legalitas tersebut. Allah tidak akan menjatuhkan hukuman bagi umat manusia dan tidak akan meminta pertanggung jawaban manusia sebelum adanya penjelasan dan pemberitahuan melalui Rasul-rasulnya-Nya, dalam Al-Qur’an banyak ayat yang menjelaskan tentang legalitas salah satunya Al-Qur’an Surat al-Isra ayat 15
.....َومَا كُنَّا مُعَذّ بِيْنَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُوْلأً
.....dan kami tidak akan menyiksa sebelum kami mengutus seorang rasul.

Berdasarkan ayat Al-Qur’an ada dua dua syarat yang harus terpenuhi bagi seseorang maupun pelaku sehingga dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana.
1.      Syarat yang berkaitan dengan sifat mukallaf, yaitu sanggup memahami nas syara’ yang berisi taklif baik yang berbentuk tuntutan maupun larangan dan pantas dimintai pertanggungjawaban pidana dan dapat dijatuhi hukuman.
2.      Syarat yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Dalam hal ini ada unsur yang harus terpenuhi yaitu: (a). Perbuatan ini mungkin sanggup untuk dikerjakan atau ditinggalkan. (b). Perbuatan ini tidak dapat diketahui dengan sempurna oleh orang yang berakal atau mukallaf.

C.     Penerapan asas legalitas
Penerapan hukum pidana islam yang menunjukan tidak berlaku misalnya
1.      Beristrikan bekas ibu tiri
2.      Hukum Riba
3.      Masalah Pencurian


D.    Asas Tidak Berlaku Surut
Hukum pidana islam (jinayah) pada prinsip tidak berlaku surut, hal ini sesuai dengan kaidah la raj’iyyah fi at tasyri’al-jina’i tidak berlaku surut pada hukum pidana islam, artinya sebelum adanya nas yang melarang perbuatan, maka tindakan mukalaf tidak bisa dianggap sebagai suatu jarimah. Namun dalam praktiknya ada beberapa jarimah yang diterepkan berlaku surut, artinya perbuatan itu dianggap jarimah walaupun belum ada nas yang melarangnya.
Alasa diterapkan pengecualian berlaku surut karena pada jarimah yang berat sangat berbahaya apabila tidak diterapkan maka akan menimbulkan kekacauan dan kehebohan dikalangan kaum muslimin.
Jarimah-jarimah yang diberlakukan surut antara lain:
1.      Jarimah Qazf (menuduh zina)
2.      Jarimah Hirabah.


BAB III
PERCOBAAN MELAKUKAN JARIMAH


A.    Pengertian Percobaan Tindak Pidana Dan Pendapat Fuqaha
Percobaan tindak pidana adalah tidak selesainya perbuatan pidana karena adanya faktor eksternal, namun sipelaku ada niat da adanya permulaan perbuatan pidana. Hukum pidana islam tidak berkonsentrasi membahas delik percobaan, tetapi lebih menekankan pada jarimah yang telah selesai dan belum selesai. Hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak membicarakan isi teori tentang “percobaan” sebagai mana yang terlihat nanti.

B.     Fase-fase dalam Tindak Pidana
Tiap-tiap jarimah mengalami fase-fase tertentu terwujud hasilnya. Pembagian fase-fase ini ini sangat diperlukan sebab hanya pada salah satu fase saja, pembuat dapat dituntut dari segi kepidanaan, sedang pada fase-fase lainya tidak dituntut.
1.      Fase pemikiran dan perancanaan (marhalah at-tafkir wa at-tashim)
2.      Fase persiapan (marhalah at-tahdzir)
3.      Fase pelaksanaan (marhalah tanfidiyah)
C.    Pendirian Hukum Positif
Pendirian hukum positif sama dengan syara; bahwa permulaan tindsk pidana tidak dapat dihukum, baik pada fase-fase pemikiran perencanaan dan persiapan. Akan tetapi dikalangan sarjana-sarjana hukum positif terdapat perbedaan pendapat tentang saat di mana pembuat dianggap telah mulai melaksanakan jarimahnya itu.


BAB IV
TURUT SERTA BEBRBUAT JARIMAH
(al-istirak fi al-jarimah)

A.    Pengertian dan Bentuk Penyertaan
Suatu jarimah ada kalanya diperbuat oleh seorang diri dan dapat diperbuat oleh beberapa orang pula maka bentuk kerja sama diantara mereka dapat dirumuskan sebagai berikut
1.      Pembuat melakukan jarimah bersama-sama orang lain
2.      Pembuat mengadakan kesepakatan
3.      Menghasut orang lain untuk berbuat jarimah
4.      Memberi bantuan
Dalam KUHP di indonesia pasal 55, kita dapati bentuk-bentuk kerjasasama dalam melaksanakan jarimah ini
B.     Pandangan Fuqaha Tentang Turut Serta Berbuat Jarimah
Para fuqaha hanya membicarakan hukum “turut berbuat langsung” (isytirak mubasyir), sedang hukum “turut berbuat tidak langsung” (isytirak ghairu mubasyir) boleh dikata tidak disinggung-singgung. Boleh jadi hal ini disebabkan karena menurut aturan syariat islam, hukuman yang telah ditentukan hanya dijatuhkan atas orang yang turut berbuat dengan langsung, bukan atas orang yang turut berbuat tidak langsung dan aturan tersebut diterapkan dengan teliti sekali oleh imam Abu Hanifah.

C.    Turut Berbuat Secara Langsung
Pada dasarnya turut berbuat langsung baru terdapat apabila orang-orang yang berbuat jarimah dengan nyata lebih dari seorang atau biasa disebut dikalangan sarjana-sarjana hukum positif dengan nama “berbilangnya pembuat asli” (mededaders).

D.    Turut Berbuat Tidak Langsung
Turut berbuat tidak langsung bisa terjadi dengan berbagai cara seperti
1.      Persepakatan
2.      Menyuruh (menghasut: tahridl)
3.      Memberi bantuan (i’anah)
Syari’at islam telah menentukan hukuman had dan qisas dijatuhkan atas perbuatan langsung, bukan atas kawan berbuatnya (pembuat tidak langsung).


BAB V
PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA

A.    Pengertian dan dasar hukum
Pertanggung jawaban pidana diartikan sebagai bentuk pembebanan pada seseorang akibat perbuatan sesuatu yang dilarang. Kemudian dasar hukum perbuatan ini sudah sangat jelas dalam Al-Qur’an namun bersifat pengecualian (terkecuali dengan hak) seperti dalam firman allah

ولأ تقلوا النقس التى حرم الله الأ با لحق.............
artinya: jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan allah kecuali ada alasan yang hak

B.     Macam-macam Maksud Melawan Hukum
Perbuatan melawan hukum adakalanya disengaja (direncanakan), ada kalanya keliru. Dengan demikian maksud melawan hukum juga bertigkat-tingkat seperti:
1.      Maksud melawan hukum umum dan khusus
2.      Maksud melawan hukum tertentu dan tidak tertentu
3.      Maksud langsung dan tidak langsung
C.    Hal-hal yang Dapat Mempengaruhi Hukum
1.      Menjalankan ketentuan Syariat
2.      Karena Perintah Jabatan
3.      Kedaan Terpaksa
Menurut ulama Hanafiyah syarat untuk dapat dikatakan keadaan terpaksa apabila:
a.       Adanya kemampuan yang lebih dari orang yang memaksanya atas apa yang diancamkan baik bersifat kekuasaan atau kejahatannya
b.      Adanya ketakutan yang luar biasa dari orang yang dipaksa baik orang yang yang dipaksa hadir secara langsung atau lewat suruhanya
c.       Bagi orang yang terpaksa hatus menentang perbuatan sebelumnya
d.      Orang yang dipaksa mempertahankan jiwa anggota badannya, sehingga harus melakukan perbuatan yang tidak ada kerelaan darinya.
4.      Pembelaan Diri
Adapun syarat-syarat pembelaan diri adalah sebagai berikut:
a.       Adanya serangan atau tindakan melawan hukum
b.      Penyerangan harus terjadi seketika
c.       Tidak ada jalan lain dalam pembelaan diri kecuali harus menyerang
d.      Dalam pembelaan digunakan alat seperlunya tidak berlebih-lebihan
5.      Subhat
6.      Unsur Pemaaf


BAB VI
‘UQUBAH (HUKUMAN)
Hukuman dalam istilah Arab sering disebut ‘uqubah, yaitu bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara’ yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia. Tujuan dari hukuman dalam syariat islam merupakan realisasi dari tujuan hukum islam itu sendiri yakni hukuman yang bersifat umum maupun khusus, ketentuan ini diberlakukan karena hukuman dalam islam dianggap sebagai ihktiyat bahkan hakim dalam islam harus menegakkan dua prinsip:
1.      Hindari hukuman  hadd dalam perkara yang mengandung hukum subhad
2.      Seorang imam atau hakim lebih baik slah memaafkan dari pada salah menjatuhkan hukuman.
Adapun prinsip dasar untuk mencapai tujuan oleh ulama fiqh diberi bebarapa kriteria:
1.      Hukuman itu bersifat universal
2.      Penerapan materi hukuman itu sejalan dengan kebutuhan dan kemaslahatan masyarakat
3.      Seluruh bentuk hukuman yang dapat menjamin dan mencapai kemslahatan pribadi dan masyarakat
4.      Hukuman dalam islam bukan hal balas dendam
Hukuman dalam islam dapat dikelompokan dalam beberapa jenis, hal ini dapat diperinci sebagai berikut:
1.      Hukuman dilihat dari pertalian hukuman yang satu dengan hukuman yang lain, ada 4 jenis yaitu; hukuman pokok, hukuman penganti, hukuman tambahan, dan hukuman pelengkap.
2.      Hukuman dilihat dari kewenangan hakim dalam memutuskan perkara
3.      Hukuman dari segi obyeknya.
Dalam hukum pidana islam tujuan dibentuknya hukuman tak lain adalah untuk menciptakan ketentraman individu dan masyarakat serta mencegah perbuatan-perbuatan yang bisa menimbulkan kerugian terhadap anggota masyarakat.
Menurut Andi Hamzah dan A. Simanglipu, sepanjang perjalanan sejarah, tujuan penjatuhan pidana dapat dihimpun dalam empat bagian, yakni:
1.      Pembalasan (revenge), seseorang yang telah menyebabkan kerasukan dan malapetaka pada orang lain
2.      Penghapusan dosa (ekspiation)
3.      Menjarakan (detern)
4.      Memperbaiki sipelaku tindak kejahatan (rehabilitation of the criminal)


BAB VII
     JARIMAH HUDUD
Jarimah hudud sering diartikan sebagai tindak pidana yang macam dan sanksinya ditetapkan secara mutlak oleh Allah, sehingga manusia tidak berhak untuk menetapkan hukuman lain selain hukuman hukuman yang ditetapkan berdasarkan kitap Allah.
Kejahatan huhud adalah kejahatan yang paling serius dan berat dalam hukum pidana islam. Ia adalah kejahatan terhadap kepentingan publik, jumhur ulama merumuskan jarimah hudud menjadi tujuh macam yaitu zina, qadzaf (tuduhan palsu zina), sariqah (pencurian), hirabah (perampokan), riddah (murtad), al-baqhy (pemberontakan), dan syurb al-khamr (meminum khamr). Sementara mazhab malikiyah hanya memasukkan jarimah hudud dalam lima kategori yaitu zina, qadzaf (tuduhan palsu zina), sariqah (pencurian), hirabah (perampokan) dan baghy (pemberontakan).

BAB VIII
JARIMAH QISHASH DIYAT
Qishash diyat adalah suatu kejahatan terhadap jiwa (menghilangkan nyawa) dan anggota badan (pelukan) yang diancam dengan hukuman qishash (serupa/ semisal) atau hukuman diyat (ganti rugi dari sipelaku atau ahlinya kepada sikorban atau walinya). Dalam hukum pidana islam yang termasuk dalam jarimah qishash diyat ini adalah (1) pembunuhan dengan sengaja; (2) pembunuhan semi sengaja; (3) menyebabkan matinya orang karena kealpaan atau kesalahan; (4) penganiayaan dengan sengaja; dan (5) menyebabkan orang luka karena kealpaan atau kesalahan. Ayat Al-qur’an yang berkaitan dengan tindak pidana pembunuhan antara lain disebutkan dalam surah Al- Baqarah ayat 178-179, dalam surah ini merupakan dasar pemberian sanksi dalam hukum pidana islam terkandung nilai-nilai humanisme sebagai berikut:
1.      Hukuman qisas diyat merupakan bentuk koreksi terhadap hukuman pada masa jahiliyah yang diskrimatif.
2.      Menegagkan nilai-nilai keadilan demi tegaknya supremasi hukum.
3.      Perlindungan bagi sikorban atau walinya secara langsung.
Hikmah adanya hukuman qisas diyat, sebagaimana dijelaskan oleh al-Jurjawi adalah keberlangsungan hidup manusia didunia, karena itu islam menghukum orang yang membunuh orang lain.
Pembunuhan diartikan oleh para ulama sebagai perbuatan manusia yang menyebabkan hilangnya nyawa. Mazhab maliki membagi pembunuhan menjadi dua macam, yakni pembunuhan sengaja danpembunuhan tidak sengaja. Sedangkan ulama Hanifiah, Syafi’iyah dan Hambali membagi pembunuhan menjadi tiga macam, yaitu (1) pembunuhan sengaja (qatl al-‘amd) yaitu suatu perbuatan menganiaya seseorang dengan maksud menghilangkan nyawa, (2) pembunuhan semi sengaja (qatl syibb al-‘amd) yaitu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang tidak dengan maksud untuk membunuhnya, tetapi mengakibatkan kematian, dan (3) pembunuhan karena kesalahan (qatl al-khata’) yaitu pembunuhan yang disebabkan salah dalam perbuatan, salah dalam maksud, dan kelalaian.
BAB IX
JARIMAH TA’ZIR
Menurut bahasa, lafaz ta’zir berasal dari kata: azzara yang berarti man’u wa radda (mencegah dan menolak). Ta’zir dapat berarti addaba (mendidik) atau azhamu wa waqra yang artinya mengagungkan dan menghormati. Dari berbagai pengertian makna ta’zir yang paling relavan adalah al-man’u wa radda (mencegah atau menolak), dan pengertian ta’dib (mendidik). Pengertian ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah dan Wahbah Zuhaili.
Menurut istilah, sebagaimana yang diungkapkan oleh Al-Mawardi bahwa yang dimaksud dengan ta’zir adalah: ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa (maksiat) yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara;
Sementara Wahbah Zuhaili memberikan definisi yang mirip dengan definisi Al-Mawardi:
وَهُوَ شَرْعًا : العُقُوْ بَةُ الْمَشْرُوْعَةُ عَلَى مَعْصِيَةٍ أَوْ جِنَايَةٍ لَاحَدّ فِيْهَا وَ لَا كَفَّا رَةَ
Ta’zir menurut syara’ adalah hukuman yang ditetapkan atas perbuatan maksiat atau jinayah yang tidak dikarenakan had dan tidak pula kafarat
Ta’zir dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1.      Ta’zir karena melakukan maksiat;
2.      Ta’zir karena melakukan perbuatan yang membahayakan kepentingan umum;
3.      Ta’zir karena melakukan pelanggaran (mukhalafah).
Di samping itu, dilihat dari segi hak yang dilanggarnya, jarimah ta’zir dibagi menjadi dua bagian, yaitu
1.      Jarimah ta’zir yang menyinggung hak Allah.
2.      Jarimah ta’zir yang menyinggung hak perorangan (individu).
Pada jarimah ta’zir sumber hukumnya tidak dijelaskan secara terperinci dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis baik dari segi bentuk jarimah maupun hukumannya, Menurut syarbini al-khatib ayat al-Qur’an yang menjadi landasan adanya jarimah ta’zir al-qur’an dalam surat al-Fath ayat 8-9, seddangkan dalam hadis ada bebearapa hadis yang menjadi landasan salah satunya hadis nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim, hadis yang diriwatkan oleh Abi Burdah, dan hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah.
Antara jarimah ta’zir dan jarimah Hudud mempunyai perbadaan yakni; jarimah hudud merupakan jarimah yang hukumanya telah ditentukan secara definitif oleh syara’ baik jenis jarimah maupun sanksinya sedangkan jarimah ta’zir adalah jarimah yang hukumannya belum ditentukan oleh syara’ dan diserahkan kepada pemerintah (ulil amri) untuk menetapkannya.

Adapun pembagian jarimah ta’zir menurut Abdul Qadir Awdah membaginya kedalam tiga macam:
1.      Jarimah ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau qishash, tetapi syarat-syaratnya tidak terpenuhi atau ada syubhat seperti pencurian yang tidak mencapai nisab, atau oleh keluarga sendiri
2.      Jarimah ta’zir yang jenisnya disebutkan dalam nas syara’ tetapi hukumannya belum ditetapkan; seperti riba, suap, dan mengurangi takaran dalam timbangan.
3.      Jarimah ta’zir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh syara’.
Sedangkan Aziz Amir membagi jarimah Ta’zir secara rinci kedalam beberapa bagian, yaitu:
1.      Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pembunuhan;
2.      Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pelukan;
3.      Jarimah ta;zir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan atau kerusakan akhlak;
4.      Jarimah ta;zir yang berkaitan dengan harta;
5.      Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu;
6.      Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan keamanan individu.
Kemudian dalam menentukan hukuman dalam jarimah ta’zir ini jenisnya sangat beragam, namun secara garis besar dapat diperinci sebagai berikut:
1.      Hukuman mati atau qishash untuk pembunuhan sengaja dan sebagai hukuman had untuk jariyah hirabah, zina muhshan, riddah, dan jarimah pemberontakan.
2.      Hukuman cambuk (dera) adalah memukul dengan cambuk atau semacamnya. Kalau di Indonesia dipilih dengan mengunakan rotan. Sedangkan dasar hukum cambuk adalah al-Qur’an surat an-Nisa ayat 34.
3.      Hukuman penjara, dalam bahasa arab ada dua istilah untuk hukuman penjara, pertama al-habsu (mencegah atau menahan pelaku ditempat yang sempit), dan yang kedua as-sijn. Dasar hukum untuk dibolehkannya hukuman penjara ini terdapat dalam surat An-Nisa’ ayat 15. Disamping itu alasan lain untuk dibolehkannya hukuman penjara sebagai ta’zir adalah tindakan Nabi saw, yang pernah memenjarakan beberapa orang dimadinah dalam tuntutan pembunuhan. Juga tindakan Khalifah Utsman yang pernah memenjarakan Dhabi’ Ibn al-Harits, salah satu pencuri dari bani Tamim sampai ia mati dipenjara. Hukuman penjara dalam syariat islam dibagi kedalam dua bagian, yaitu: hukuman penjara yang terbatas waktunya dan tidak terbatas.
4.      Hukuman pengasingan, hukuman ini dijatuhkan kepada pelaku jarimah yang dikhawatirkan berpengaruh kepada orang lain sehingga pelakunya harus dibuang (diasingkan) untuk menghindarkan pengaruh-pengaruh tersebut.
5.      Merampas Harta, para ulama berbeda pendapat tentang dibolehkannya hukuman ta’zir dengan cara mengambil harta, hukuman ta’zir dengan cara mengambil harta tidak dibolehkan. Pendapat ini diikuti oleh muridnya, yaitu Muhammad Ibn Hasan, tetapi muridnya yang lain, yaitu Imam Abu Yusuf membolehkannya apabila dipandang membawa maslahat.
6.      Mengubah bentuk barang, adapun hukuman ta’zir yang berupa mengubah harta pelaku antara lain seperti mengubah patung yang disembah oleh orang muslim dengan cara memotong bagian kepalanya, sehingga mirip dengan pohon.
7.      Hukuman Denda, hukuman yang bisa merupakan hukuman pokok yang berdiri sendiri dan dapat pula dapat pula digabungkan dengan hukuman pokok lainnya.
8.      Peringakatan Keras
9.      Hukuman Berupa Nasihat, hukuman nasihat ini didasarkan kepada Firman Allah dalam surah An-Nisa’ ayat 34:

والَّتِى تَخَافُونَ نُشُوْزَ هُنَّ فَعِظُوْ هُنَّ........(النساء : 34)
..... wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya maka nasihatilah mereka...... (QS, An-Nisaa’ :34)
10.  Celaan (Taubikh), dasar hukuman untuk celaan sebagai hukuman ta’zir adalah hadis Nabi saw. Diriwayatkan bahwa Abu Dzar pernah menghina seseorang dengan menghina ibunya.
11.  Pengucilan, yang dimaksud dengan pengucilan adalah melarang pelaku untuk berhubungan dengan orang lain dan sebaliknya melarang masyarakat untuk berhubungan dengan pelaku. Dasar hukum untuk hukuman pengucilan ini adalah  al-Qur’an dalam surah An-Nisa ayat 34. Selain dalam Al-Qur’an hukuman pengucilan juga terdapat dalam sunnah Rasullah dan para sahabat pernah melakukan pengucilan terhadap tiga orang yang ikut perang tabuk, yaitu Kaab ibn Malik, Mirarah ibn Rabi’ah Al-Amiri, dan hilal ibn Umayyah Al-Waqify.
12.  Pemecatan (Al-‘Azl), adalah melarang seseorang dari pekerjaannya dan diberhentikan dari pekerjaan itu. Hukuman ta’zir berupa pemberhentian dari pekerjaan atau jabatan ini diterapkan terhadap seorang pegawai yang melakukan jarimah, baik yang berhubungan dengan pekerjaannya atau jabatannyab maupun dengan hal-hal lainnya.
13.  Publikasi (At-Tasyhir), dasar hukum untuk hukuman berupa pengumuman kesalahan atau kejahatan pelaku secara terbuka adalah tindakan Khalifah Umar terhadap seorang saksi palsu yang sesudah dijatuhi hukuman jilid lalu ia diarak keliling kota, sambil diumumkan kepada masyarakat bahwa ia adalah seorang saksi palsu.

4 komentar: